0 Comments

Di tengah riuhnya tayangan sinetron dan film layar lebar yang kerap membubuhkan dramatisasi berlebihan, hadir sebuah karya yang terasa sunyi namun menyentuh: Rumah untuk Alie. Film ini bukan sekadar potret kemiskinan atau penderitaan anak-anak yang ditinggalkan, melainkan lebih dari itu — sebuah tafsir puitik tentang harapan, kehilangan, dan keberanian untuk memaafkan.

Sebuah Cerita tentang Rumah, Tapi Juga tentang Pulang

Alie (diperankan dengan apik oleh pendatang baru yang menjanjikan) adalah anak bungsu dari tiga bersaudara yang sejak kecil sudah akrab dengan sunyi dan pengabaian. Hidup di pelosok kota kecil, ia tumbuh dengan bayang-bayang ayah yang menghilang dan ibu yang kian larut dalam kelelahan hidup. Rumah tempat mereka tinggal tak lebih dari pondok reyot, tapi bagi Alie, di sanalah ia pertama kali belajar mencintai, juga kecewa.

Ketika ibunya meninggal mendadak dan kedua kakaknya memilih jalan masing-masing, Alie harus berdiri sendiri menghadapi dunia yang dingin. Ia tinggal sebatang kara, menggantungkan hidup dari hasil mengumpulkan barang bekas dan bantuan tetangga yang tak selalu ramah. Namun, yang membuat film ini menyentuh adalah bagaimana Alie — dalam segala ketakberdayaannya — tetap menyisakan ruang untuk percaya: bahwa suatu hari nanti, rumahnya akan kembali penuh suara, bukan sekadar gema luka.

Tak Sekadar Melankolia

Disutradarai oleh Reza Aldiansyah, Rumah untuk Alie tidak menjerumuskan penonton ke dalam melodrama. Justru sebaliknya, film ini membangun kedalaman emosi dengan cara subtil: gestur kecil Alie saat mencuci baju ibunya yang tak akan dipakai lagi, atau ketika ia mematung di depan gerbang panti asuhan, tak yakin apakah tempat itu benar-benar bisa menjadi “rumah”.

Alur cerita berjalan lambat namun padat makna, membiarkan penonton menyelami dunia Alie yang senyap namun sarat refleksi. Reza seolah ingin berkata: “Kisah ini bukan untuk ditonton, tapi untuk direnungkan.”

Simbolisme dan Visual yang Bicara Banyak

Sinematografi dalam Rumah untuk Alie patut diacungi jempol. Tiap bingkai seperti lukisan, menghidupkan lanskap muram yang justru terasa hangat oleh pencahayaan alami. Ada banyak simbol yang menyusup diam-diam — kursi goyang tua, burung-burung yang bertengger di genting retak, dan boneka lusuh yang tetap disimpan Alie di bawah bantalnya. Semua elemen visual itu menyuarakan perasaan Alie tanpa perlu banyak dialog.

Harapan Tak Pernah Mati

Puncak emosional film terjadi saat Alie memutuskan untuk memperbaiki rumahnya sendiri, walau hanya dengan palu karatan dan papan bekas. Aksinya bukan karena ia yakin rumah itu akan kembali ramai, melainkan karena ia percaya bahwa harapan — sekecil apa pun — layak diperjuangkan.

Film ini mengajarkan bahwa rumah bukan sekadar bangunan, melainkan tempat di mana seseorang merasa layak untuk dicintai. Dan kadang, satu-satunya orang yang bisa membangun rumah itu untuk kita… adalah diri sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts