Kesuksesan film Agak Laen tak cuma bikin heboh box office lokal, tapi juga menarik perhatian pelaku industri film global. Dengan kabar bahwa hak remake-nya sudah dibeli oleh studio internasional, Indonesia kembali membuktikan bahwa sinema lokal punya daya tarik lintas budaya. Namun, Agak Laen bukan satu-satunya film Indonesia yang dilirik oleh studio asing.
Sebelum era konten viral dan streaming global, beberapa film Indonesia lebih dulu mencuri perhatian dunia. Dari remake resmi hingga adaptasi longgar, berikut ini beberapa film Indonesia yang pernah atau nyaris diadaptasi oleh industri luar negeri.
1. The Raid (2011) – Diburu Hollywood, Jadi Ikon Aksi Dunia
Tak lengkap bicara film Indonesia di mata dunia tanpa menyebut The Raid. Film garapan Gareth Evans ini bukan hanya sukses secara komersial, tapi juga mendefinisikan ulang genre action dengan seni bela diri pencak silat yang mentah dan brutal.
Hollywood kepincut. Sejak 2012, wacana remake Hollywood sudah muncul, bahkan melibatkan nama-nama besar seperti Joe Carnahan dan Frank Grillo. Meskipun versi remakenya hingga kini belum terealisasi, The Raid tetap dijadikan referensi aksi dalam film-film seperti John Wick dan Extraction. Bahkan beberapa aktor utamanya, seperti Iko Uwais dan Yayan Ruhian, langsung direkrut ke proyek-proyek besar internasional.
Bukan cuma di-remake, tapi menginspirasi gelombang baru action cinema global.
2. Pengabdi Setan (2017) – Horor Lokal yang Menembus Batas
Disutradarai oleh Joko Anwar, Pengabdi Setan bukan cuma reboot film horor klasik tahun 1980. Film ini berhasil membawa elemen horor khas Indonesia ke level internasional, dan sukses secara box office di berbagai negara Asia.
Film ini sempat menarik minat distributor dan produser dari Amerika dan Jepang untuk kemungkinan remake ataupun kolaborasi horor Asia. Meski tak di-remake secara langsung, Joko Anwar menyebut dalam beberapa wawancara bahwa ia “berkali-kali dihubungi untuk adaptasi internasional.”
Buktinya? Film ini rilis di lebih dari 42 negara dan jadi bagian dari festival-festival film genre ternama dunia.
3. KKN di Desa Penari (2022) – Jadi Viral, Dilirik Studio Asia
Film ini mungkin punya reputasi “film horor paling viral” di Indonesia, berkat kisahnya yang awalnya lahir dari utas Twitter. Popularitas KKN di Desa Penari menembus Asia Tenggara, dengan distribusi hingga ke Malaysia, Singapura, dan Brunei.
Menurut laporan media lokal dan wawancara dari MD Pictures, ada ketertarikan dari beberapa studio produksi di Thailand dan Korea Selatan untuk menjajaki format remake atau web series berdasarkan konsep “urban legend + budaya lokal” yang kuat.
Cerita rakyat lokal Indonesia terbukti punya potensi untuk digarap dengan rasa horor universal.
4. Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017) – Dikenal Festival, Dilirik Prancis
Film arahan Mouly Surya ini sempat jadi darling di berbagai festival film internasional, termasuk Cannes. Gaya sinematiknya yang disebut sebagai “satay Western” (western rasa Indonesia) membuat banyak kritikus luar negeri menyandingkannya dengan Kill Bill atau The Revenant.
Beberapa rumah produksi independen dari Prancis dan Kanada sempat mengutarakan minat untuk membuat adaptasi “versi barat” dari Marlina, meskipun pada akhirnya proyek itu belum terealisasi. Namun, Marlina tetap jadi simbol bahwa film arthouse Indonesia punya kelas dunia.
Narasi perempuan, balas dendam, dan lanskap Sumba? Kombinasi yang menarik di mata sineas global.
5. Pintu Terlarang (2009) – Thriller Psikologis dengan Gaya Internasional
Salah satu karya awal Joko Anwar ini sebenarnya underrated di pasar lokal, tapi mendapat pujian tinggi dari kritikus luar negeri. Pintu Terlarang dianggap sebagai film dengan estetika visual dan twist storytelling yang sangat “Eropa.”
Film ini sempat dibahas oleh programmer festival genre di Eropa dan Amerika sebagai contoh film Asia Tenggara dengan potensi remake thriller kelas festival.
Bahkan ada blog film internasional yang menulis: “Why Pintu Terlarang Deserves an English-Language Remake.”
Penutup: Sinema Indonesia Tak Lagi Dipandang Sebelah Mata
Meningkatnya minat studio asing terhadap film Indonesia menandakan bahwa konten lokal kita bukan cuma relevan secara budaya, tapi juga menjual secara universal. Cerita-cerita yang berakar dari masyarakat kita—entah horor desa, aksi jalanan, atau drama psikologis—ternyata bisa berbicara dengan audiens dunia.
Setelah Agak Laen, siapa tahu film-film seperti Jatuh Cinta Seperti di Film-Film atau 24 Jam Bersama Gaspar akan jadi proyek adaptasi berikutnya. Karena pada akhirnya, bahasa film adalah bahasa paling global dari semuanya.