0 Comments

Ketegangan antara kebijakan dagang dan industri hiburan kembali mencuat, setelah kabar mencuat bahwa sejumlah eksekutif puncak studio besar Hollywood diam-diam menggelar pertemuan tertutup untuk membahas langkah strategis menghadapi rencana tarif baru yang digaungkan oleh mantan Presiden Donald Trump. Tarif tersebut, yang disebut-sebut akan menyasar produk-produk budaya dan hiburan seperti film dan konten digital, diyakini berpotensi mengganggu peta ekspor industri perfilman AS ke pasar global—terutama Tiongkok dan negara-negara Asia lainnya.

Menurut sejumlah sumber industri yang enggan disebutkan namanya, pertemuan itu berlangsung secara privat di kawasan Beverly Hills dan dihadiri oleh perwakilan dari Disney, Warner Bros. Discovery, Paramount Global, Sony Pictures, dan Netflix. Agenda utama: merumuskan respons kolektif terhadap wacana tarif baru yang disinyalir akan diberlakukan jika Trump kembali ke Gedung Putih pada 2025.

Tarif Film: Instrumen Politik atau Strategi Ekonomi?

Trump, dalam beberapa pernyataannya baru-baru ini, menyinggung niat untuk menerapkan tarif impor dan ekspor lintas sektor sebagai bagian dari pendekatan “America First 2.0”. Dalam wawancara di sebuah stasiun konservatif, ia menyebutkan bahwa produk budaya seperti film “tidak boleh jadi jalan satu arah” dan mengkritik dominasi konten asing di platform streaming AS, sembari mengeluhkan bahwa film Hollywood kerap “tidak menghormati nilai-nilai Amerika”.

Meski belum ada kebijakan resmi yang diumumkan, sinyal Trump ini cukup membuat pelaku industri resah. Apalagi pasar internasional—terutama Asia Timur—telah menjadi tulang punggung pendapatan box office Hollywood dalam satu dekade terakhir.

“Kalau akses ke Tiongkok dan pasar Asia diperketat atau dikenai tarif tinggi, maka ini bukan cuma soal uang—tapi soal kehilangan pangsa budaya global,” ujar seorang analis industri kepada The Hollywood Reporter.

Hollywood di Persimpangan Jalan

Pertemuan para bos studio bukan hanya membahas soal tarif sebagai ancaman dagang, tetapi juga sebagai potensi ancaman naratif. Beberapa peserta dilaporkan mengkhawatirkan bahwa film dan serial yang mengandung nilai-nilai inklusif dan progresif bisa jadi sasaran retorika politik yang ingin mendefinisikan ulang “film Amerika” dari sudut pandang ideologis.

Beberapa studio disebut mulai mempertimbangkan opsi diversifikasi distribusi: menjalin lebih banyak kerja sama dengan platform lokal di luar negeri, memperkuat cabang produksi internasional, dan bahkan menyiasati jalur rilis agar tidak terlalu tergantung pada saluran distribusi tradisional yang bisa terkena dampak tarif.

“Kalau Trump kembali dan benar-benar menerapkan kebijakan ini, kami harus punya rencana cadangan untuk menjaga agar film-film kami tetap bisa menjangkau dunia tanpa terhambat birokrasi atau retorika,” ungkap seorang eksekutif senior kepada Variety.

Tarik Ulur antara Politik dan Kreativitas

Bagi banyak pembuat film, ancaman tarif ini menciptakan dilema antara kebebasan ekspresi dan kepentingan ekonomi. Beberapa sineas khawatir bahwa studio akan mulai menyensor diri sendiri agar tidak memicu reaksi politis di dalam negeri.

“Kita bisa masuk era baru di mana studio lebih takut pada Gedung Putih daripada pada kritik Rotten Tomatoes,” celetuk seorang produser independen dalam diskusi publik di Los Angeles.

Penutup: Masa Depan yang Masih Kabur

Meski belum ada kebijakan yang secara resmi diberlakukan, sinyal-sinyal dari Trump sudah cukup membuat industri perfilman AS bersiaga. Pertemuan para bos studio besar menjadi bukti bahwa Hollywood tengah bersiap menghadapi bukan hanya perubahan tren penonton atau teknologi, tetapi juga medan politik yang semakin tidak terduga.

Di tengah upaya bangkit pasca-pandemi dan gempuran AI dalam proses produksi, tarif film bisa jadi batu sandungan berikutnya yang menentukan arah masa depan Hollywood—apakah tetap menjadi kekuatan budaya global, atau justru tersendat di rumah sendiri.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts