0 Comments

Jakarta, 2025 — Dalam gelapnya lorong-lorong sempit Bukit Duri, Jakarta, sebuah kisah kelam tentang keberanian dan kehilangan mulai dirajut ulang di layar lebar lewat tangan dingin sineas kenamaan Joko Anwar. Film terbarunya, Pengepungan di Bukit Duri, tidak hanya menjadi sorotan karena kisahnya yang menggugah, tetapi juga berkat pendekatan sinematik yang penuh perhitungan dan penuh emosi.

Joko Anwar, yang dikenal lewat film-film seperti Pengabdi Setan dan Perempuan Tanah Jahanam, kembali menantang batas sinema lokal lewat proyek ini. Namun di balik gambar yang dramatis dan tensi yang menggigit, ada kisah di balik kamera yang tak kalah kuatnya—kisah tentang proses kreatif yang penuh pertaruhan, pencarian kejujuran naratif, dan interaksi dengan realitas sosial yang tidak bisa dipisahkan dari lokasi syuting itu sendiri.


Merekam Luka Sosial yang Nyata

Dalam wawancara eksklusif, Joko mengaku proyek ini sangat personal baginya. “Bukit Duri bukan sekadar latar. Ia adalah karakter utama yang menyimpan banyak cerita tak terdengar,” ujar Joko. Ia menyusuri kawasan tersebut jauh sebelum proses syuting dimulai, berbincang dengan warga, menyimak suara-suara yang selama ini luput dari perhatian publik.

“Banyak orang mengenal Bukit Duri hanya lewat berita penggusuran. Tapi di balik itu, ada keluarga, ada sejarah, dan ada trauma kolektif yang belum benar-benar pulih,” lanjutnya.


Pencahayaan Alami dan Kamera Genggam: Pilihan yang Disengaja

Salah satu kekuatan film ini adalah visualnya yang terasa mentah dan intim. Ternyata, hal tersebut bukan tanpa alasan. Joko bersama sinematografer Ical Tanjung memilih menggunakan pencahayaan alami dan kamera genggam dalam sebagian besar adegan.

“Gue pengen penonton merasa seolah-olah ada di dalam rumah-rumah itu. Bahwa ini bukan adegan yang dibuat-buat, tapi sesuatu yang benar-benar bisa terjadi,” kata Joko.

Kamera yang terus bergerak, mengikuti tokoh utama dengan jarak dekat, membuat penonton nyaris tidak punya jeda untuk bernapas. Pendekatan ini menciptakan rasa urgensi dan ketegangan yang tidak dibangun lewat musik dramatis, tapi lewat keheningan, suara napas, dan detak jantung yang serasa berdentum di dada.


Aktor Bukan Sekadar Pemain, Tapi Peneliti

Joko juga melibatkan para aktornya untuk mendalami peran dengan cara yang tidak biasa. Mereka tidak hanya membaca naskah, tetapi harus menginap di Bukit Duri, berinteraksi dengan warga, bahkan beberapa kali ikut dalam kegiatan komunitas setempat.

“Gue gak pengen mereka cuma akting. Gue pengen mereka hidup sebagai orang Bukit Duri,” tutur Joko.

Proses ini melahirkan performa yang sangat organik dari para pemeran, terutama tokoh utama yang diperankan oleh aktor muda berbakat, Reza Rahadian, yang kembali membuktikan fleksibilitas aktingnya.


Ketegangan Nyata di Lokasi Syuting

Meski syuting berlangsung dengan lancar, Joko tak menampik bahwa ada ketegangan tersendiri saat berada di kawasan yang pernah menjadi pusat konflik urban. Beberapa warga awalnya merasa tidak nyaman dengan kehadiran kru film.

“Tapi kami datang bukan untuk mengeksploitasi. Kami datang untuk mendengar,” kata Joko, yang mengaku banyak adegan justru lahir dari improvisasi dan cerita nyata yang dikumpulkan selama pra-produksi.


Film Sebagai Medium Ingatan

Bagi Joko, Pengepungan di Bukit Duri bukan hanya film aksi politik. Ini adalah surat cinta bagi Jakarta yang terus berbenah, dan juga alarm bagi siapa pun yang lupa bahwa pembangunan tidak boleh menginjak kemanusiaan.

“Film ini mungkin tidak akan mengubah dunia. Tapi kalau bisa bikin satu orang saja bertanya ulang tentang keadilan, itu sudah cukup,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts