Film bertema sejarah sering kali menyajikan narasi besar dengan tokoh ikonik dan konflik epik. Tapi The Last Supper (2012), arahan sutradara Lu Chuan, memilih pendekatan yang lebih puitis dan mendalam. Dibalik balutan kostum megah dan lanskap megah Dinasti Han, film ini menyuguhkan refleksi kelam tentang kekuasaan, paranoia, dan kematian yang datang terlalu dini—semuanya terjadi di meja makan yang tak lagi menyuguhkan santapan, melainkan kecurigaan.
Sinopsis Singkat
Mengambil latar akhir Dinasti Qin dan awal Dinasti Han, The Last Supper menyoroti tiga tokoh utama dalam sejarah Tiongkok: Liu Bang (kekaisaran pertama Dinasti Han), Jenderal Han Xin, dan Jenderal Xiang Yu. Film ini menggambarkan bagaimana hubungan di antara ketiganya—yang semula dibangun atas dasar kepercayaan dan ambisi bersama—perlahan terpecah oleh rasa iri, manipulasi, dan ketakutan terhadap pengkhianatan.
Yang menarik, film ini tidak disampaikan secara linier. Narasi berselang-seling antara masa kini (Liu Bang yang sudah tua dan terobsesi akan mimpi buruk tentang kematian dan pengkhianatan), kilas balik masa-masa perang, dan momen kontemplatif tentang keputusan-keputusan politik yang mengarah pada pembantaian tokoh-tokoh penting.
Estetika Visual yang Tajam
Secara sinematografi, The Last Supper adalah mahakarya. Setiap bingkai nyaris terasa seperti lukisan klasik: gelap, sunyi, namun menyimpan ketegangan dalam diam. Palet warna dominan hitam, merah darah, dan emas—mewakili aura imperialisme sekaligus pertanda muram tragedi yang tak terelakkan. Lu Chuan tampaknya tak tertarik membuat film yang memanjakan penonton dengan aksi atau adegan heroik. Ia memilih untuk menggali konflik batin dan ironi sejarah.
Akting yang Menggugah
Aktor veteran Liu Ye memerankan Liu Bang dengan penuh lapisan: sebagai pemimpin yang cerdas, namun perlahan digerogoti paranoia. Sementara Daniel Wu yang memerankan Xiang Yu tampil dengan karisma klasik pemimpin tragis yang terlalu percaya diri dan gagal membaca arah sejarah. Chang Chen sebagai Han Xin juga tampil mencuri perhatian—ia menjadi semacam jembatan antara dua kutub yang bertikai, yang akhirnya justru menjadi korban dari keduanya.
Antara Sejarah dan Imajinasi
Meski diangkat dari kisah nyata, Lu Chuan dengan sadar memilih untuk tidak sepenuhnya tunduk pada narasi sejarah resmi. Beberapa sejarawan bahkan mengkritik film ini karena dianggap terlalu “subjektif” dan sarat interpretasi artistik. Tapi justru di situlah kekuatan film ini: The Last Supper tidak sekadar mengulang kisah sejarah, tapi menantang penonton untuk mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi di balik catatan sejarah yang ditulis oleh pemenang.