0 Comments

Ketegangan antara Amerika Serikat dan China kembali memanas. Kali ini bukan soal baja atau semikonduktor, melainkan layar lebar. Dalam perkembangan terbaru yang mencerminkan meningkatnya eskalasi perang dagang kedua negara adidaya itu, China dilaporkan mulai memangkas jumlah film asal Hollywood yang masuk ke bioskop domestik.

Langkah ini dinilai sebagai bentuk balasan terhadap kebijakan perdagangan Amerika Serikat yang dinilai semakin proteksionis, khususnya di sektor teknologi dan manufaktur.


Bukan Sekadar Bisnis Hiburan

Menurut laporan dari sumber industri perfilman di Shanghai dan Beijing, otoritas sensor China memperlambat persetujuan untuk film-film impor dari AS sejak awal kuartal 2025. Bahkan beberapa judul blockbuster yang diproyeksikan akan tayang bersamaan secara global, harus rela ditunda atau bahkan dibatalkan penayangannya di Tiongkok.

Langkah ini bukan hanya berdampak pada distribusi film, tapi juga berpotensi menggerus pendapatan raksasa-raksasa studio seperti Disney, Universal, dan Warner Bros—yang selama satu dekade terakhir sangat bergantung pada pasar bioskop China sebagai sumber keuntungan utama.

“Ini bukan soal kualitas film atau nilai hiburan semata. Ini adalah sinyal diplomatik,” ujar Lin Zhao, pengamat kebijakan luar negeri di Beijing Foreign Studies University.


Latar Belakang Ketegangan

Situasi ini tak lepas dari keputusan pemerintah AS untuk menaikkan tarif impor barang teknologi dari China dan membatasi akses perusahaan Tiongkok terhadap teknologi chip mutakhir. Sebagai respons, Beijing mulai mengutamakan industri dalam negeri dan mengurangi ketergantungan pada produk-produk luar negeri, termasuk di sektor budaya dan hiburan.

Film menjadi salah satu sasaran strategis. Selain karena nilai ekonominya besar, film juga dianggap sebagai media penyampai ideologi. Dan dalam konteks ketegangan geopolitik, kontrol terhadap narasi dianggap kian vital.


Efek Domino di Industri Perfilman Global

Dampak dari kebijakan ini terasa tidak hanya di Hollywood. Distributor, pemilik bioskop, hingga platform streaming yang berbasis di Asia ikut terkena imbas. Banyak dari mereka telah merancang jadwal dan strategi rilis berdasarkan asumsi bahwa film-film besar dari AS akan tetap hadir secara reguler di layar China.

Namun kini, ketidakpastian mulai menyelimuti. Dalam jangka pendek, bioskop-bioskop di kota-kota besar seperti Shanghai, Chengdu, dan Guangzhou mulai lebih banyak memutar film lokal atau produksi regional Asia Timur.

“Ada kekosongan konten, tapi juga peluang bagi sineas lokal untuk bersinar,” kata Liu Wen, produser film independen di Shenzhen.


Reaksi Hollywood: Diam atau Diplomasi?

Di sisi lain, studio-studio Hollywood tampak hati-hati merespons. Mereka menghindari konfrontasi langsung dan memilih pendekatan diplomatis. Beberapa sumber menyebutkan bahwa studio besar kini mulai berinvestasi lebih besar dalam film koproduksi dengan mitra Tiongkok, sebagai cara untuk tetap masuk ke pasar yang menggiurkan itu.

Namun, tak semua pihak yakin strategi itu akan berhasil jika ketegangan politik terus meningkat. Tanpa kepastian regulasi dan dukungan dari pemerintah China, kolaborasi lintas negara di sektor hiburan bisa mandek di tengah jalan.


Penutup: Layar Lebar, Cerminan Politik Besar

Situasi ini menunjukkan bahwa budaya dan ekonomi kini makin terjalin erat dalam arena politik global. Di era ketika perang dagang tak lagi terbatas pada komoditas fisik, dunia hiburan pun menjadi ajang unjuk kekuatan dan kedaulatan.

Film, yang biasanya menjadi pemersatu lintas budaya, kini justru bisa menjadi simbol ketegangan dua kutub dunia. Pertanyaannya: siapa yang lebih siap menghadapi layar baru ini—dunia, atau para pembuat film?

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts