0 Comments

Pelaksanaan pengundian Liga 4 yang digelar oleh PSSI baru-baru ini justru menimbulkan badai kritik. Alih-alih menandai babak baru kompetisi sepak bola akar rumput Indonesia, acara tersebut malah menuai kontroversi dari berbagai kalangan—mulai dari klub peserta, pemerhati sepak bola nasional, hingga pengamat olahraga.

Sejumlah klub Liga 4 secara terbuka menyampaikan kekecewaan dan ketidakpuasan terhadap mekanisme serta hasil drawing grup, yang dinilai tidak transparan, tidak adil, dan bahkan mengarah pada dugaan ketidakwajaran teknis.


Kejanggalan Drawing: Ketika Keberuntungan Tak Lagi Netral

Dalam konferensi pers usai drawing, beberapa perwakilan klub mengungkapkan adanya kejanggalan dalam proses pengundian. Salah satu keluhan yang mencuat adalah kurangnya dokumentasi terbuka, termasuk tidak adanya siaran langsung penuh dan tidak dijelaskannya mekanisme pembagian pot tim.

“Kalau memang drawing dilakukan secara adil, mengapa prosesnya terkesan tertutup dan tidak disiarkan secara menyeluruh? Transparansi adalah kunci kepercayaan,” kata Rudi Suryana, manajer salah satu klub asal Sumatra Selatan.

Lebih jauh, beberapa grup hasil undian terlihat sangat timpang. Klub-klub dengan sejarah panjang dan kekuatan finansial kuat tergabung dalam grup yang relatif ringan, sementara beberapa tim promosi justru bertemu tim unggulan dalam satu grup. Hal ini memicu tudingan soal kemungkinan adanya intervensi.


Desakan Pengulangan: PSSI Diminta Jangan Anggap Remeh

Gelombang kritik tersebut membuat banyak pihak mendesak PSSI untuk mengulang undian Liga 4. Desakan ini tidak datang dari satu dua suara, tapi meluas hingga asosiasi sepak bola provinsi dan tokoh-tokoh penting dalam ekosistem bola nasional.

“Ini bukan sekadar soal siapa lawan siapa, tapi soal keadilan kompetisi. Kalau sejak awal sudah tidak fair, apa yang bisa kita harapkan dari hasil akhirnya?” tegas Zainal Hasan, pengamat sepak bola sekaligus mantan anggota Exco PSSI.

Ia menambahkan, pengundian adalah tahapan krusial yang mencerminkan integritas penyelenggara. Jika proses ini dianggap remeh, maka legitimasi seluruh kompetisi bisa diragukan. Lebih parah lagi, ini bisa mencederai semangat pembinaan sepak bola akar rumput yang sedang coba dibangun kembali lewat Liga 4.


PSSI: “Kami Evaluasi, Tapi Tidak Gegabah”

Menanggapi polemik tersebut, pihak PSSI akhirnya angkat bicara. Dalam pernyataan singkat yang disampaikan oleh Sekjen PSSI, disebutkan bahwa evaluasi internal tengah dilakukan, namun belum ada keputusan apakah pengundian akan diulang atau tidak.

“Kami mencatat semua masukan dari klub dan stakeholder. Namun, keputusan terkait pengundian harus dilandasi bukti dan pertimbangan objektif, bukan tekanan publik semata,” kata sang Sekjen.

Meski begitu, belum adanya penjelasan teknis yang komprehensif dari PSSI justru memperkuat kesan bahwa proses pengundian memang belum memenuhi standar profesionalisme tinggi.


Ancaman Legitimasi Liga 4

Jika polemik ini dibiarkan berlarut-larut tanpa penyelesaian yang adil dan terbuka, dampaknya bisa sangat luas. Kepercayaan klub terhadap sistem bisa terkikis, semangat pemain bisa menurun, dan partisipasi publik bisa anjlok. Padahal, Liga 4 semestinya menjadi batu loncatan bagi bibit-bibit muda sepak bola Indonesia untuk naik ke level yang lebih tinggi.

Dengan momentum reformasi yang tengah digaungkan oleh federasi, publik berharap PSSI tak sekadar menjanjikan perubahan, tetapi benar-benar menegakkan prinsip keadilan, transparansi, dan akuntabilitas—mulai dari hal paling dasar seperti pengundian grup.


Penutup: Saatnya Berani Bersikap

Sepak bola Indonesia sudah terlalu lama terjebak dalam polemik tak berujung—dari liga profesional hingga level amatir. Kini, saat yang tepat bagi PSSI menunjukkan arah baru yang lebih sehat dan profesional. Jika ada kesalahan, akui. Jika perlu diperbaiki, ulangi.

Karena membangun sepak bola bukan soal gengsi, tapi soal kepercayaan. Dan kepercayaan, sekali hilang, sulit dikembalikan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Related Posts